Batas dan Alat dalam Pendidikan


Mata Kuliah Ilmu Pendidikan Islam
Dosen: Mardia Hayati, M. Ag
Makalah Pribadi (Dewi Hidayati dan kelompok)


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Batas dan Alat dalam pendidikan merupakan hal yang penting dalam proses pendidikan siswa. Untuk itu perlu kajian agar kita semua sebagai calon pendidik memahami apa-apa saja yang menjadi batas dan alat dalam pendidikan.

B.  Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang Batas dan Alat dalam Pendidikan. Dalam makalah ini kami menyertakan contoh-contoh untuk memudahkan pemahaman.

C.  Tujuan
Tujuan adanya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Ilmu Pendidikan Islam dan untuk menambah khazanah keilmuan para pembaca, maka dengan adanya makalah ini kita bisa mengetahui tentang Batas dan Alat dalam pendidikan.


BAB II
PEMBAHASAN
BATAS DAN ALAT DALAM PENDIDIKAN

A.      Pengertian Batas Pendidikan
Batas ialah suatu yang menjadi hijab atau ruang lingkup; awal dan akhir berarti memiliki permulaan dan akhir. Sedangkan pendidikan adalah pengaktualisasian fitrah insaniyah yang manusiawi dan potensial agar manusia dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya (individual, sosial, religius).
B.       Batas Awal dan Akhir Pendidikan Islam
Yang dimaksud dengan batas awal pendidikan Islam ialah saat kapan pendidikan Islam itu dimulai. Para ahli paedagogik muslim dan non muslim mempunyai pendapat yang beragam akan hal ini. Mereka hanya sepakat bahwa pendidikan itu adalah suatu usaha dan proses mempunyai batas-batas tertentu. Langevel, memberikan batas awal (bawah) pendidikan pada saat anak sudah berusia kurang lebih 4 tahun, yakni pada usia ini telah terjadi mekanisme untuk mempertahankan dirinya (eksistensi) perubahan besar dalam jiwa seseorang anak di mana sang anak telah mengenal aku-nya. Sehingga si anak sudah mulai sadar/mengenal kewibawaan (gezag)[1].
Menurut Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa pendidikan dimulai dari lahir sampai mati. Dengan istilah yang telah terkenal ialah Long Life Education. Jadi meskipun orang itu sudah tua umunya masih dapat dididik.  Apabila ada orang tua belum mendalam pemahaman tentang agamanya, maka orang tua itu masih dapat dididik selama ia hidup[2].
Imam al-Gazali berpendapat bahwa anak itu seperti kertas putih yang siap untuk ditulisi melalui orang tuanya sebagai pendidik sehingga batas awal pendidikan pada saat anak dalam kandungan ibunya, lebih jauh dari itu yakin pada saat memilih calon pasangan hidup (suami isteri). Di mana anak akan lahir, tidaklah terlepas dari pengaruh perilaku orang tuanya yang mendidik dan membesarkannya[3].
Anak dalam kaitannya dalam pendidikan menurut ajaran Islam adalah fitrah atau ajaran bagi orang tuanya. Sebagaimana Hadis Rasulullah saw. yang artinya: Setiap anak itu dilahirkan atas fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikan Nasrani atau Majusi.
Batas pendidikan Islam lebih idealistik dan pragmatik, pendidikan itu berlangsung dari buaian sampai ke liang lahat. Sebagaimana Hadis Nabi saw.:
أُطْلُبِ اْلعِلْمَ مِنَ اْلمَهْدِ إِلَى اللَّهْـدِ
Artinya:
Tuntutlah ilmu pengetahuan semenjak dari buaian hingga ke liang lahat (al-Hadis).
C.      Pengertian Alat Pendidikan
Secara umum, alat pendidikan adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati membedakan faktor dan alat pendidikan. Faktor adalah hal atau keadaan yang ikut serta menentukan berhasil tidaknya pendidikan. Sedangkan alat adalah langkah-langkah yang diambil demi kelancaran proses pendidikan.
Sementara itu, Ahmad D. Marimba memandang alat pendidikan dari aspek fungsinya, yakni; alat sebagai perlengkapan, alat sebagai pembantu mempermudah usaha mencapai tujuan (untuk mencapai tujuan selanjutnya).
Dalam praktek pendidikan, istilah alat pendidikan sering diidentikkan dengan media pendidikan, walaupun sebenarnya pengertian alat lebih luas dari pada media. Media pendidikan adalah ”alat, metode dan teknik yang digunakan dalam rangka meningkatkan efektifitas komunikasi dan interaksi edukatif antara guru dan siswa dalam proses pendidikan dan pengajaran di sekolah. Sedangkan alat adalah langkah-langkah yang diambil demi kelancaran proses pendidikan[4].
D.      Jenis Alat Pendidikan
Dalam dunia pendidikan terdapat bermacam alat pendidikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Suwarno membedakan alat-alat pendidikan dari beberapa segi berikut :
1.      Alat pendidikan positif dan negatif
positif, jika ditunjukkan agar anak mengerjakan sesuatu yang baik, misalnya : contoh yang baik pembiasaan, perintah, pujian, dan ganjaran. Negatif, jika tujuannya menjaga supaya anak didik jangan mengerjakan sesuatu yang jelek, misalnya : larangan, celaan, peringatan, ancaman, hukuman.
2.      Alat pendidikan preventif dan korektif
preventif jika maksudnya mencegah anak sebelum anak berbuat sesuatu yang tidak baik. Misalnya, pembiasaan, perintah, pujian, ganjaran. Korektif jika maksudnya memperbaiki karena anak telah melanggar ketertiban atau berbuat sesuatu yang buruk. Misalnya. Celaan, ancaman, hukuman.
3.      Alat pendidikan yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan.
Menyenangkan yaitu menimbulkan rasa senang pada anak-anak. Misalnya pengajaran dan pujian. Tidak menyenangkan yaitu yang menimbulkan perasaan tidak senang pada anak-anak. Misalnya, hukuman dan celaan.
Sedangkan Madyo Ekosusilo, mengelompokkan alat pendidikan menjadi dua kelompok yaitu :
  1. Alat pendidikan yang bersifat material, yaitu alat-alat pendidikan yang berupa benda-benda nyata untuk memperlancar pencapaian tujuan pendidikan. Misalnya, papan tulis, OHP dan lain-lain.
  2. Alat pendidikan yang bersifat non material, yaitu alat-alat pendidikan yang berupa keadaan atau dilakukan dengan sengaja sebagai sarana dalam kegiatan pendidikan.
Amir Dien Indrakusuma membagi alat pendidikan kedalam dua kelompok:
  1. Alat pendidikan preventif ialah alat pendidikan yang bersifat pencegahaan. Tujuannya agar hal-hal yang dapat menghambat atau mengganggu kelancaran proses pendidikan bisa dihindari. Misalnya tata tertib, anjuran dan perintah, larangan dan paksaan.
  2. Alat pendidikan representatif (kuratif dan kerektif), ialah alat pendidikan yang bersifat penyadaran agar anak kembali kepada hal-hal yang benar, baik dan tertib. Misalnya, pemberitahuan, teguran, hukuman dan ganjaran[5].
Selanjutnya, Prayitno (2003) menyebutkan lima alat pendidikan yakni: kewibawaan, kasih sayang dan kelembutan, keteladanan, penguatan, dan ketegasan yang mendidik (membimbing). Alat-alat pendidikan tersebut, sekaligus dapat digunakan guru sebagai alat membimbing siswa dalam proses pembelajaran sehingga proses belajar tersebut menyenangkan bagi siswa dan memotivasinya untuk lebih giat dalam belajar[6].

E.       Penggunaan Alat Pendidikan
Dalam memilih alat pendidikan manakah yang baik dan sesuai, haruslah memperhatikan empat syarat yang berikut :
  1. Tujuan apakah yang hendak dicapai dengan alat itu,
  2. Siapa (pendidik) yang menggunakan alat itu,
  3. Anak (si terdidik) yang mana yang dikenai alat itu,
  4. Bagaimana menggunakan alat itu,
Masih perlu kita tanyakan, apakah didalam menggunakan alat pendidikan itu akan menimbulkan pengaruh pula dalam lapangan lain yang tidak menjadi tujuan utama dari penggunaan alat itu dan apakah alat yang digunakan itu sudah dapat untuk mencapai tujuan itu atau belum, atau mungkin masih perlu dibantu dengan yang lain[7].
F.       Alat-alat Pendidikan
Alat-alat pendidikan yang sangat penting yang akan kami bahas pada makalah ini adalah
  1. Pembiasaan dan pengawasan
  2. Perintah dan larangan
  3. Ganjaran dan hukuman
  4. Alat Pendidikan yang bersifat materil
a.      Pembiasaan
Pembiasaan adalah salah satu alat pendidikan yang penting sekali, terutama bagi anak-anak yang masih kecil. Anak-anak kecil belum menginsyafi apa yang dikatakan baik dan apa yang dikatakan buruk dalam arti asusila. Oleh karena itu, pembiasaan merupakan alat satu-satunya. Sejak dilahirkan anak-anak harus dilatih dengan kebiasaan-kebiasaan dan perbuatan-perbuatan yang baik, seperti dimandikan dan ditidurkan pada waktu tertentu, diberi makan dengan teratur dan sebagainya.
Anak-anak dapat menurut dan taat kepada peraturan-peraturan dengan jalan membiasakannya dengan perbuatan-perbuatan yang baik, di dalam rumah tangga atau keluarga, di sekolah dan juga di tempat lain.
Supaya pembiasaan itu dapat lekas tercapai dan baik hasilnya, harus memenuhi beberapa syarat tertentu, antara lain :
a.       Mulailah pembiasaan itu sebelum terlambat, jadi sebelum anak itu mempunyai kebiasaan lain yang berlawanan dengan hal-hal yang akan dibiasakan.
b.      Pembiasaan itu hendaklah terus menerus (berulang-ulang) dijalankan secara teratur sehingga akhirnya menjadi suatu kebiasaan yang otomatis. Untuk itu dibutuhkan pengawasan.
c.       Pendidikan hendaklah konsekuen, bersikap tegas dan tetap teguh terhadap pendiriannya yang telah diambilnya.
d.      Pembiasaan yang mula-mulanya mekanistis itu harus makin menjadi pembiasaan yang disertai kata hati anak itu sendiri[8].

b.      Pengawasan
Di atas telah dikatakan bahwa pembiasaan yang baik membutuhkan pengawasan. Pengawasan itu penting sekali dalam mendidik anak. Tanpa pengawasan berarti membiarkan anak berbuat sekehendaknya anak tidak akan dapat membedakan yang baik dan yang buruk, tidak mengetahui mana yang seharusnya dihindari atau tidak senonoh dan mana yang boleh dan harus dilaksanakan, mana yang membahayakan dan mana yang tidak.
Anak yang dibiarkan tumbuh sendiri menurut alamnya, dan menjadi manusia yang hidup menurut nafsunya saja. Kemungkinan besar anak itu menjadi tidak patuh dan tidak dapat mengetahui kemana arah hidup yang sebenarnya.
Memang, ada pula ahli-ahli didik yang menuntut adanya kebebasan yang penuh dalam pendidikan. Roussean, umpamanya, adalah seorang pendidik yang beranggapan bahwa semua anak yang sejak dilahirkan adalah baik, menganjurkan pendidikan menurut alam. Menurut pendapatnya, anak hendaknya dibiarkan tumbuh menurut alamnya yang baik itu sehingga mengenai hukuman pun Roussean menganjurkan hukuman alami.
Tetapi pendapat para ahli didik sekarang umumnya, sependapat bahwa pengawasan adalah alat pendidikan yang penting dan harus dilaksanakan, biarkan secara berangsur-angsur anak itu harus diberi kebebasan. Pendapat yang akhir ini mengatakan bukankah kebebasan itu yang dijadikan pangkal atau permulaan pendidikan, melainkan kebebasan itu yang hendak diperoleh pada akhirnya[9].
c.       Perintah
Perintah bukan hanya apa yang keluar dari mulut seseorang yang harus dikerjakan oleh orang lain. Melinkan dalam hal ini termasuk pula peraturan-peraturan umum yang harus ditaati oleh anak-anak. Tiap-tiap perintah dan peraturan dalam pendidikan mengandung norma-norma kesusilaan, jadi bersifat memberi arah atau mengandung tujuan ke arah peraturan susila.
Suatu perintah atau peraturan dapat mudah ditaati oleh anak-anak jika si pendidik sendiri juga menaati dan hidup menurut peraturan-peraturan itu. Tony. Tidak mungkin suatu aturan sekolah ditaati oleh murid-muridnya jika guru sendiri tidak menaati peraturan yang telah dibuatnya itu.
Syarat-syarat memberi perintah antara lain :
a.       Perintah hendaknya terang dan singkat, jangan terlalu banyak komentar, sehingga mudah dimengerti oleh anak.
b.      Perintah hendaknya disesuaikan dengan keadaan dan umur anak sehingga jangan sampai memberi perintah yang tidak mungkin dikerjakan oleh anak itu. Tiap-tiap perintah hendaknya disesuaikan dengan kesanggupan anak.
c.       Kadang-kadang perlu pula kita mengubah perintah itu menjadi suatu peritah yang lebih bersifat permintaan sehingga tidak terlalu keras kedengarannya. Hal ini berlaku lebih-lebih terhadap anak yang sudah besar.
d.      Janganlah terlalu banyak dan berlebih-lebihan memberi perintah, sebab dapat mengakibatkan anak itu tidak patuh, tetapi menentang, pendidik hendaklah hemat akan perintah.
e.       Pendidik hendaklah konsekuen terhadap apa yang telah diperintahkannya, suatu perintah yang harus ditaati oleh seorang anak, berlaku pula bagi anak lain.
f.       Suatu perintah yang bersifat mengajak, si pendidik turut melakukannya, umumnya lebih ditaati oleh anak-anak dan dikerjakannya dengan gembira[10].

d.      Larangan
Di samping memberi perintah, sering pula kita harus melarang perbuatan anak-anak. Larangan itu biasanya kita keluarkan jika anak melakukan sesuatu yang tidak baik, yang merugikan, atau dapat membahayakan dirinya.
Seorang ayah dan ibu yang sering melarang perbuatan anaknya, dapat mengakibatkan bermacam-macam sifat atau sikap yang kurang baik pada anak itu, seperti :
a.       Keras kepala atau melawan
b.      Pemalu dan penakut
c.       Perasaan kurang harga diri
d.      Kurang mempunyai perasaan tanggung jawab
e.       Pemurung atau pesimis
f.       Acuh tak acuh terhadap sesuatu (apatis) dan sebagainya.
Syarat-syarat yang harus diperintahkan dalam melakukan larangan diantaranya:
  1. Sama halnya dengan perintah, larangan itu harus diberikan dengan singkat, supaya dimengerti maksud larangan itu.
  2. Jangan terlalu sering melarang, akibatnya tidak baik bagi anak-anak yang masih kecil, larangan dapat dicegah dengan mengalihkan perhatian anak kepada sesuatu yang lain, yang menarik minatnya[11].
e.       Ganjaran
1)      Maksud Ganjaran
Apakah maksud pendidik memberi ganjaran kepada anak didiknya? Jawaban pertanyaan itu tidak sukar. Ganjaran adalah salah satu alat pendidikan yang untuk mendidik anak-anak supaya anak dapat merasa senang karena perbuatan atau pekerjaannya mendapat penghargaan. Umumnya, anak mengetahui bahwa pekerjaan atau perbuatannya yang menyebabkan ia mendapatkan ganjaran itu. Pendidik bermaksud supaya dengan ganjaran itu anak menjadi lebih giat lagi usahanya untuk mempertinggi prestasi yang telah dicapainya untuk bekerja atau berbuat lebih lagi.

2)      Macam-macam ganjaran
Beberapa macam perbuatan atau sikap pendidik yang dapat merupakan ganjaran bagi anak didiknya.
1.      Guru mengangguk-angguk tanda senang dan membenarkan suatu jawaban yang diberikan oleh seorang anak.
2.      Guru memberi kata-kata yang menggembirakan (pujian) seperti, ”Rupanya sudah baik pula tulisanmu, mun, kalau kamu terus berlatih, tentu akan lebih baik lagi”.
3.      pekerjaan dapat juga menjadi suatu ganjaran. Contoh ”Engkau akan segera saya beri soal yang lebih sukar sedikit, Ali, karena yang nomor 3 ini rupa-rupanya terlalu mudah engkau kerjakan.
4.      ganjaran dapat juga berupa benda-benda yang menyenangkan dan berguna bagi anak-anak. Misalnya pensil, buku tulis, gula-gula atau makanan yang lain. Tetapi, dalam hal ini guru harus sangat berhati-hati dan bijaksana sebab dengan benda-benda itu, mudah benar ganjaran berubah menjadi “upah” bagi murid-murid.
5.      Ganjaran yang ditujukan untuk seluruh warga kelas sering sangat perlu. Misalnya, “karena saya lihat kalian telah bekerja dengan baik dan lekas selesai, sekarang saya (Bapak guru) akan mengisahkan sebuah cerita yang bagus sekali.” Ganjaran untuk seluruh warga kelas dapat juga berupa bernyanyi atau pergi berdarmawisata[12].
f.       hukuman.
Hukuman adalah alat pendidikan yang tidak lepas dari sistem kemasyarakatan serta kenegaraan yang berlaku pada waktu itu. Masalah hukuman merupakan masalah etis yang menyangkut soal baik dan buruk. Jadi, dengan kata lain hukuman adalah penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh seseorang (orangtua, guru dan sebagainya) sesudah terjadi suatu pelanggaran, kejahatan atau kesalahan.
Sebagai alat pendidikan, hukuman hendaklah:
1)      senantiasa merupakan jawaban atas suatu pelanggaran
2)      sedikit banyaknya selalu bersifat tidak menyenangkan
3)      selalu bertujuan kearah perbaikan, hukuman itu hendaklah diberikan untuk kepentingan anak itu sendiri.
Antara hukuman dan ganjaran memiliki persamaan, yaitu keduanya sama-sama merupakan reaksi dari si pendidik atas perbuatan yang telah dilakukan oleh anak didik. Hukuman dijatuhkan atas perbuatan-perbuatan yang buruk yang telah dilakukannya dan ganjaran diberikan atas perbuatan yang baik dilakukannya.
Disamping itu, hukuman dan ganjaran juga memiliki perbedaan yang jelas. Didalam proses pendidikan, akibat hukuman itu jauh lebih besar daripada akibat yang ditimbulkan oleh ganjaran. Hukuman itu suatu perlakuan yang jauh lebih penting daripada ganjaran.
Setiap orang bebas memberi ganjaran kepada orang atau anak lain, tetapi tidak setiap orang bebas menghukum orang atau anak lain. hak menghukum hanya diberikan kepada orang-orang yang mempunyai fungsi yang khusus dan tertentu, seperti hakim, oarang tua, atau guru. Lagi pula, hak yang ada pada orang-orang itu pun terikat oleh peraturan-peraturan dan undang-undang.
Maksud orang memberi hukuman itu bermacam-macam, hal ini sangat bertalian erat dengan pendapat orang tentang teori-teori hukuman.
1)      Teori Pembalasan
Teori inilah yang tertua. Menurut teori ini, hukuman diadakan sebagai pembalasan dendam terhadap pelanggaran yang telah dilakukan seseorang. Tentu saja teori ini tidak boleh dipakai dalam pendidikan sekolah.
2)      Teori perbaikan
Hukuman diadakan untuk memperbaiki si pelanggar agar jangan melakukan kesalahan semacam itu lagi. Teori inilah yang lebih bersifat paedagogis karena bermaksud memperbaiki si pelanggar.
3)      Teori perlindungan
Hukuman diadakan untuk melindungi masyarakat dari perbuatan yang tidak wajar. Dengan adanya hukuman ini, masyarakat dapat dilindungi dari kejahatan-kejahatan yang telah dilakukan oleh si pelanggar.
4)      Teori ganti kerugian
Hukuman diadakan untuk mengganti kerugian yang telah diderita akibat pelanggaran itu. Dalam masyarakat dan pemerintahan banyak dilakukan hal semacam ini. Dalam proses pendidikan, dengan hukuman semacam ini anak mungkin bisa menjadi tidak merasa bersalah atau berdosa karena kesalahannya itu telah terbayar dengan hukuman.
5)      Teori menakut-nakuti
Hukuman diadakan untuk menimbulkan perasaan takut kepada si pelanggar akan akibat perbuatannya yang melanggar itu sehingga ia akan selalu takut melakukan perbuatan itu dan mau meninggalkannya.
Teori ini masih membutuhkan “teori perbaikan”. Sebab, dengan teori ini besar kemungkinan anak meninggalkan suatu perbuatan karena rasa takut, bukan karena kesadaran bahwa perbuatannya itu memang sesat[13].
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa tiap teori itu masih belum lengkap karena masing-masing hany mencakup satu aspek saja. Tiap-tiap teori tadi saling membutuhkan kelengkapan dari teori yang lain. Tujuan paedagogis dari hukuman ialah untuk memperbaiki tabiat dan tingkah laku anak didik, untuk mendidik anak kearah kebaikan.

g.      Alat Pendidikan Bersifat Materil
Alat pendidikan yang bersifat materil antara lain papan tulis, bulletin board dan display, gambar dan ilustrasi fotografi, slide dan filmstrip, film, rekaman pendidikan, radio pendidikan, televisi pendidikan, peta dan globe, buku pelajaran, overhead projector dan tape recorder[14]. Disisi lain yang merupakan alat penting juga dalam pendidikan adalah laboratorium bahasa, komputer dan lainnya yang terkait sarana dan prasarana seperti meja, kursi, gedung dan fasilitas lainnya[15].


BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Dari pembahasan ini dapat kami tarik kesimpulan bahwa batas dalam pendidikan adalah saat kapan pendidikan dimulai dan diakhiri. Batas pendidikan Islam lebih idealistik dan pragmatik, pendidikan itu berlangsung dari buaian sampai ke liang lahat. Sebagaimana Hadis Nabi saw : أُطْلُبِ اْلعِلْمَ مِنَ اْلمَهْدِ إِلَى اللَّهْـدِ yang artinya: “Tuntutlah ilmu pengetahuan semenjak dari buaian hingga ke liang lahat”. (al-Hadis).
Sedangkan alat dalam pendidikan adalah alat adalah langkah-langkah yang diambil demi kelancaran proses pendidikan. Alat tak hanya yang berbentuk nyata seperti papan tulis, buku pelajaran, laboratorium komputer saja. Namun, dapat berupa Pembiasaan, pengawasan, Perintah, larangan, Ganjaran dan hukuman.
B.  Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini tentunya masih banyak terdapat kekurangan, kekeliruan dan kesalahan. Oleh karena itu kami harapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian yang sifatnya membangun, demi menuju kesempurnaan makalah-makalah kami yang akan datang. Atas kritik dan saran saudara kami ucapkan terimakasih.

KEPUSTAKAAN

Ahmadi, Abu dan Uhbiyati, Nur. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. 2001.
Barnadib, Sutari Imam. Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis. Yogyakarta: Andi Offset. 1993.
Danim, Sudarwan. Media Komunikasi Pendidikan. Jakarta: bumi Aksara. 1994.
Hamalik, Oemar. Media Pendidikan. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1994
http://kiflipaputungan.wordpress.com/2010/04/28/batas-batas-pendidikan-islam/
http://konselingindonesia.com
Purwanto, Ngalim. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya. 1998.






[1] Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis (Yogyakarta: Andi Offset, 1993) hlm. 25
[2] Ibid, hlm. 25
[3] http://kiflipaputungan.wordpress.com/2010/04/28/batas-batas-pendidikan-islam/
[4] Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2001) hlm. 140
[5] Ibid, hlm. 142
[6] http://konselingindonesia.com
[7] Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, op. cit hlm. 144
[8] Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998) hlm. 177
[9] Ibid, hlm. 179
[10] Ibid, hlm. 181
[11] Ibid,  hlm. 182
[12] Ibid,  hlm. 183
[13] Ibid, hlm. 188
[14] Sudarwan Danim, Media Komunikasi Pendidikan (Jakarta: bumi Aksara, 1994) hlm. 22
[15] Oemar Hamalik, Media Pendidikan (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994) hlm. 46

Komentar