BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Batas dan Alat dalam
pendidikan merupakan hal yang penting dalam proses pendidikan siswa. Untuk itu
perlu kajian agar kita semua sebagai calon pendidik memahami apa-apa saja yang
menjadi batas dan alat dalam pendidikan.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah
ini kami akan membahas tentang Batas dan Alat dalam Pendidikan. Dalam makalah
ini kami menyertakan contoh-contoh untuk memudahkan pemahaman.
C. Tujuan
Tujuan adanya
makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Ilmu Pendidikan Islam dan untuk
menambah khazanah keilmuan para pembaca, maka dengan adanya makalah ini kita
bisa mengetahui tentang Batas dan Alat dalam pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
BATAS DAN ALAT DALAM PENDIDIKAN
A. Pengertian Batas Pendidikan
Batas ialah suatu yang menjadi hijab
atau ruang lingkup; awal dan akhir berarti memiliki permulaan dan akhir.
Sedangkan pendidikan adalah pengaktualisasian fitrah insaniyah yang manusiawi
dan potensial agar manusia dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya (individual,
sosial, religius).
B. Batas Awal dan Akhir Pendidikan Islam
Yang dimaksud dengan batas awal
pendidikan Islam ialah saat kapan pendidikan Islam itu dimulai. Para ahli
paedagogik muslim dan non muslim mempunyai pendapat yang beragam akan hal ini.
Mereka hanya sepakat bahwa pendidikan itu adalah suatu usaha dan proses
mempunyai batas-batas tertentu. Langevel, memberikan batas awal (bawah)
pendidikan pada saat anak sudah berusia kurang lebih 4 tahun, yakni pada usia
ini telah terjadi mekanisme untuk mempertahankan dirinya (eksistensi) perubahan
besar dalam jiwa seseorang anak di mana sang anak telah mengenal aku-nya.
Sehingga si anak sudah mulai sadar/mengenal kewibawaan (gezag)[1].
Menurut Ki Hajar Dewantara berpendapat
bahwa pendidikan dimulai dari lahir sampai mati. Dengan istilah yang telah
terkenal ialah Long Life Education. Jadi meskipun orang itu sudah tua umunya
masih dapat dididik. Apabila ada orang
tua belum mendalam pemahaman tentang agamanya, maka orang tua itu masih dapat
dididik selama ia hidup[2].
Imam al-Gazali berpendapat bahwa
anak itu seperti kertas putih yang siap untuk ditulisi melalui orang tuanya
sebagai pendidik sehingga batas awal pendidikan pada saat anak dalam kandungan
ibunya, lebih jauh dari itu yakin pada saat memilih calon pasangan hidup (suami
isteri). Di mana anak akan lahir, tidaklah terlepas dari pengaruh perilaku
orang tuanya yang mendidik dan membesarkannya[3].
Anak dalam kaitannya dalam
pendidikan menurut ajaran Islam adalah fitrah atau ajaran bagi orang
tuanya. Sebagaimana Hadis Rasulullah saw. yang artinya: Setiap anak itu
dilahirkan atas fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikan Nasrani
atau Majusi.
Batas pendidikan Islam lebih
idealistik dan pragmatik, pendidikan itu berlangsung dari buaian sampai ke
liang lahat. Sebagaimana Hadis Nabi saw.:
أُطْلُبِ اْلعِلْمَ مِنَ اْلمَهْدِ إِلَى اللَّهْـدِ
Artinya:
Tuntutlah ilmu pengetahuan semenjak dari buaian hingga ke liang lahat
(al-Hadis).
C.
Pengertian Alat
Pendidikan
Secara umum, alat pendidikan adalah segala sesuatu yang digunakan untuk
mencapai tujuan pendidikan. Abu Ahmadi dan Nur
Uhbiyati membedakan faktor dan alat
pendidikan. Faktor adalah hal atau keadaan yang ikut serta menentukan berhasil
tidaknya pendidikan. Sedangkan alat adalah langkah-langkah yang diambil demi
kelancaran proses pendidikan.
Sementara itu, Ahmad D. Marimba memandang alat pendidikan dari aspek
fungsinya, yakni; alat sebagai perlengkapan, alat sebagai pembantu mempermudah
usaha mencapai tujuan (untuk mencapai tujuan selanjutnya).
Dalam praktek pendidikan, istilah alat pendidikan sering diidentikkan
dengan media pendidikan, walaupun sebenarnya pengertian alat lebih luas dari
pada media. Media pendidikan adalah ”alat, metode dan teknik yang digunakan
dalam rangka meningkatkan efektifitas komunikasi dan interaksi edukatif antara
guru dan siswa dalam proses pendidikan dan pengajaran di sekolah. Sedangkan alat adalah langkah-langkah yang diambil demi kelancaran proses
pendidikan[4].
D. Jenis Alat Pendidikan
Dalam dunia pendidikan terdapat bermacam alat pendidikan sebagai sarana
untuk mencapai tujuan. Suwarno
membedakan alat-alat pendidikan dari beberapa segi berikut :
1.
Alat pendidikan
positif dan negatif
positif, jika ditunjukkan agar anak mengerjakan sesuatu yang baik, misalnya
: contoh yang baik pembiasaan, perintah, pujian, dan ganjaran. Negatif, jika
tujuannya menjaga supaya anak didik jangan mengerjakan sesuatu yang jelek,
misalnya : larangan, celaan, peringatan, ancaman, hukuman.
2.
Alat pendidikan
preventif dan korektif
preventif jika maksudnya mencegah anak sebelum anak berbuat sesuatu yang
tidak baik. Misalnya, pembiasaan, perintah, pujian, ganjaran. Korektif jika
maksudnya memperbaiki karena anak telah melanggar ketertiban atau berbuat
sesuatu yang buruk. Misalnya. Celaan, ancaman, hukuman.
3.
Alat pendidikan yang menyenangkan dan yang tidak
menyenangkan.
Menyenangkan yaitu menimbulkan rasa senang pada anak-anak. Misalnya
pengajaran dan pujian. Tidak menyenangkan yaitu yang menimbulkan perasaan tidak
senang pada anak-anak. Misalnya, hukuman dan celaan.
Sedangkan Madyo Ekosusilo, mengelompokkan alat pendidikan menjadi dua kelompok yaitu
:
- Alat pendidikan yang
bersifat material, yaitu alat-alat pendidikan yang berupa benda-benda
nyata untuk memperlancar pencapaian tujuan pendidikan. Misalnya, papan
tulis, OHP dan lain-lain.
- Alat pendidikan yang
bersifat non material, yaitu alat-alat pendidikan yang berupa keadaan atau
dilakukan dengan sengaja sebagai sarana dalam kegiatan pendidikan.
Amir Dien
Indrakusuma membagi alat pendidikan kedalam dua kelompok:
- Alat pendidikan preventif
ialah alat pendidikan yang bersifat pencegahaan. Tujuannya agar hal-hal
yang dapat menghambat atau mengganggu kelancaran proses pendidikan bisa
dihindari. Misalnya tata tertib, anjuran dan perintah, larangan dan
paksaan.
- Alat pendidikan
representatif (kuratif dan kerektif), ialah alat pendidikan yang bersifat
penyadaran agar anak kembali kepada hal-hal yang benar, baik dan tertib.
Misalnya, pemberitahuan, teguran, hukuman dan ganjaran[5].
Selanjutnya, Prayitno
(2003) menyebutkan lima alat pendidikan yakni: kewibawaan, kasih sayang dan
kelembutan, keteladanan, penguatan, dan ketegasan yang mendidik (membimbing).
Alat-alat pendidikan tersebut, sekaligus dapat digunakan guru sebagai alat membimbing
siswa dalam proses pembelajaran sehingga proses belajar tersebut menyenangkan
bagi siswa dan memotivasinya untuk lebih giat dalam belajar[6].
E.
Penggunaan
Alat Pendidikan
Dalam memilih alat pendidikan manakah yang baik dan sesuai, haruslah
memperhatikan empat syarat yang berikut :
- Tujuan apakah yang hendak
dicapai dengan alat itu,
- Siapa (pendidik) yang
menggunakan alat itu,
- Anak (si terdidik) yang mana
yang dikenai alat itu,
- Bagaimana menggunakan alat itu,
Masih perlu
kita tanyakan, apakah didalam menggunakan alat pendidikan itu akan menimbulkan
pengaruh pula dalam lapangan lain yang tidak menjadi tujuan utama dari
penggunaan alat itu dan apakah alat yang digunakan itu sudah dapat untuk
mencapai tujuan itu atau belum, atau mungkin masih perlu dibantu dengan yang
lain[7].
F.
Alat-alat Pendidikan
Alat-alat pendidikan yang sangat penting yang akan kami bahas pada makalah
ini adalah
- Pembiasaan dan pengawasan
- Perintah dan larangan
- Ganjaran dan hukuman
- Alat Pendidikan yang bersifat materil
a.
Pembiasaan
Pembiasaan adalah salah satu alat pendidikan yang penting sekali, terutama
bagi anak-anak yang masih kecil. Anak-anak kecil belum menginsyafi apa yang
dikatakan baik dan apa yang dikatakan buruk dalam arti asusila. Oleh karena
itu, pembiasaan merupakan alat satu-satunya. Sejak dilahirkan anak-anak harus
dilatih dengan kebiasaan-kebiasaan dan perbuatan-perbuatan yang baik, seperti
dimandikan dan ditidurkan pada waktu tertentu, diberi makan dengan teratur dan
sebagainya.
Anak-anak dapat menurut dan taat kepada peraturan-peraturan dengan jalan
membiasakannya dengan perbuatan-perbuatan yang baik, di dalam rumah tangga atau
keluarga, di sekolah dan juga di tempat lain.
Supaya pembiasaan itu dapat lekas tercapai dan baik hasilnya, harus
memenuhi beberapa syarat tertentu, antara lain :
a.
Mulailah
pembiasaan itu sebelum terlambat, jadi sebelum anak itu mempunyai kebiasaan
lain yang berlawanan dengan hal-hal yang akan dibiasakan.
b.
Pembiasaan itu
hendaklah terus menerus (berulang-ulang) dijalankan secara teratur sehingga akhirnya
menjadi suatu kebiasaan yang otomatis. Untuk itu dibutuhkan pengawasan.
c.
Pendidikan
hendaklah konsekuen, bersikap tegas dan tetap teguh terhadap pendiriannya yang
telah diambilnya.
d.
Pembiasaan yang
mula-mulanya mekanistis itu harus makin menjadi pembiasaan yang disertai kata
hati anak itu sendiri[8].
b. Pengawasan
Di atas telah dikatakan bahwa pembiasaan yang baik membutuhkan pengawasan.
Pengawasan itu penting sekali dalam mendidik anak. Tanpa pengawasan berarti
membiarkan anak berbuat sekehendaknya anak tidak akan dapat membedakan yang
baik dan yang buruk, tidak mengetahui mana yang seharusnya dihindari atau tidak
senonoh dan mana yang boleh dan harus dilaksanakan, mana yang membahayakan dan
mana yang tidak.
Anak yang dibiarkan tumbuh sendiri menurut alamnya, dan menjadi manusia
yang hidup menurut nafsunya saja. Kemungkinan besar anak itu menjadi tidak
patuh dan tidak dapat mengetahui kemana arah hidup yang sebenarnya.
Memang, ada pula ahli-ahli didik yang menuntut adanya kebebasan yang penuh
dalam pendidikan. Roussean, umpamanya, adalah seorang pendidik yang beranggapan
bahwa semua anak yang sejak dilahirkan adalah baik, menganjurkan pendidikan
menurut alam. Menurut pendapatnya, anak hendaknya dibiarkan tumbuh menurut
alamnya yang baik itu sehingga mengenai hukuman pun Roussean menganjurkan
hukuman alami.
Tetapi pendapat para ahli didik sekarang umumnya, sependapat bahwa
pengawasan adalah alat pendidikan yang penting dan harus dilaksanakan, biarkan
secara berangsur-angsur anak itu harus diberi kebebasan. Pendapat yang akhir
ini mengatakan bukankah kebebasan itu yang dijadikan pangkal atau permulaan
pendidikan, melainkan kebebasan itu yang hendak diperoleh pada akhirnya[9].
c. Perintah
Perintah bukan hanya apa yang keluar dari mulut seseorang yang harus
dikerjakan oleh orang lain. Melinkan dalam hal ini termasuk pula
peraturan-peraturan umum yang harus ditaati oleh anak-anak. Tiap-tiap perintah
dan peraturan dalam pendidikan mengandung norma-norma kesusilaan, jadi bersifat
memberi arah atau mengandung tujuan ke arah peraturan susila.
Suatu perintah atau peraturan dapat mudah ditaati oleh anak-anak jika si
pendidik sendiri juga menaati dan hidup menurut peraturan-peraturan itu. Tony.
Tidak mungkin suatu aturan sekolah ditaati oleh murid-muridnya jika guru
sendiri tidak menaati peraturan yang telah dibuatnya itu.
Syarat-syarat memberi perintah
antara lain :
a.
Perintah
hendaknya terang dan singkat, jangan terlalu banyak komentar, sehingga mudah
dimengerti oleh anak.
b.
Perintah
hendaknya disesuaikan dengan keadaan dan umur anak sehingga jangan sampai
memberi perintah yang tidak mungkin dikerjakan oleh anak itu. Tiap-tiap
perintah hendaknya disesuaikan dengan kesanggupan anak.
c.
Kadang-kadang
perlu pula kita mengubah perintah itu menjadi suatu peritah yang lebih bersifat
permintaan sehingga tidak terlalu keras kedengarannya. Hal ini berlaku
lebih-lebih terhadap anak yang sudah besar.
d.
Janganlah
terlalu banyak dan berlebih-lebihan memberi
perintah, sebab dapat
mengakibatkan anak itu tidak patuh, tetapi menentang, pendidik hendaklah hemat
akan perintah.
e.
Pendidik
hendaklah konsekuen terhadap apa yang telah diperintahkannya, suatu perintah
yang harus ditaati oleh seorang anak, berlaku pula bagi anak lain.
f.
Suatu perintah
yang bersifat mengajak, si pendidik turut melakukannya, umumnya lebih ditaati oleh anak-anak dan
dikerjakannya dengan gembira[10].
d. Larangan
Di samping memberi perintah, sering pula kita harus melarang perbuatan
anak-anak. Larangan itu biasanya kita keluarkan jika anak melakukan sesuatu
yang tidak baik, yang merugikan, atau dapat membahayakan dirinya.
Seorang ayah dan ibu yang sering melarang perbuatan anaknya, dapat
mengakibatkan bermacam-macam sifat atau sikap yang kurang baik pada anak itu,
seperti :
a.
Keras kepala
atau melawan
b.
Pemalu dan
penakut
c.
Perasaan kurang
harga diri
d.
Kurang
mempunyai perasaan tanggung jawab
e.
Pemurung atau
pesimis
f.
Acuh tak acuh
terhadap sesuatu (apatis) dan sebagainya.
Syarat-syarat yang harus diperintahkan dalam melakukan larangan diantaranya:
- Sama halnya dengan perintah,
larangan itu harus diberikan dengan singkat, supaya dimengerti maksud
larangan itu.
- Jangan terlalu sering
melarang, akibatnya tidak baik bagi anak-anak yang masih kecil, larangan
dapat dicegah dengan mengalihkan
perhatian anak kepada sesuatu yang lain, yang menarik minatnya[11].
e.
Ganjaran
1)
Maksud Ganjaran
Apakah maksud pendidik memberi
ganjaran kepada anak didiknya? Jawaban pertanyaan itu tidak sukar. Ganjaran adalah salah satu alat pendidikan yang untuk mendidik anak-anak
supaya anak dapat merasa senang karena perbuatan atau pekerjaannya mendapat
penghargaan. Umumnya, anak mengetahui bahwa pekerjaan atau perbuatannya yang menyebabkan
ia mendapatkan ganjaran itu. Pendidik
bermaksud supaya dengan ganjaran itu anak menjadi lebih giat lagi usahanya
untuk mempertinggi prestasi yang telah dicapainya untuk bekerja atau berbuat
lebih lagi.
2)
Macam-macam
ganjaran
Beberapa macam perbuatan atau sikap pendidik yang dapat merupakan ganjaran
bagi anak didiknya.
1.
Guru
mengangguk-angguk tanda senang dan membenarkan suatu jawaban yang diberikan
oleh seorang anak.
2.
Guru memberi
kata-kata yang menggembirakan (pujian) seperti, ”Rupanya sudah baik pula
tulisanmu, mun, kalau kamu terus berlatih, tentu akan lebih baik lagi”.
3.
pekerjaan dapat
juga menjadi suatu ganjaran. Contoh ”Engkau akan segera saya beri soal yang
lebih sukar sedikit, Ali, karena yang nomor 3 ini rupa-rupanya terlalu mudah engkau kerjakan.”
4.
ganjaran dapat
juga berupa benda-benda yang menyenangkan dan berguna bagi anak-anak. Misalnya
pensil, buku tulis, gula-gula atau makanan yang lain. Tetapi,
dalam hal ini guru harus sangat berhati-hati dan bijaksana sebab dengan
benda-benda itu, mudah benar ganjaran berubah menjadi “upah” bagi murid-murid.
5.
Ganjaran yang ditujukan untuk seluruh warga kelas
sering sangat perlu. Misalnya, “karena saya lihat kalian telah bekerja dengan
baik dan lekas selesai, sekarang saya (Bapak guru) akan mengisahkan sebuah
cerita yang bagus sekali.” Ganjaran untuk seluruh warga kelas dapat juga berupa
bernyanyi atau pergi berdarmawisata[12].
f.
hukuman.
Hukuman adalah alat pendidikan yang tidak lepas dari sistem kemasyarakatan
serta kenegaraan yang berlaku pada waktu itu. Masalah hukuman merupakan masalah
etis yang menyangkut soal baik dan buruk. Jadi, dengan kata lain hukuman adalah penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh seseorang (orangtua, guru dan sebagainya)
sesudah terjadi suatu pelanggaran, kejahatan atau kesalahan.
Sebagai alat pendidikan, hukuman
hendaklah:
1) senantiasa
merupakan jawaban atas suatu pelanggaran
2) sedikit
banyaknya selalu bersifat tidak menyenangkan
3) selalu
bertujuan kearah perbaikan, hukuman itu hendaklah diberikan untuk kepentingan
anak itu sendiri.
Antara
hukuman dan ganjaran memiliki persamaan, yaitu keduanya sama-sama merupakan reaksi dari si pendidik atas perbuatan
yang telah dilakukan oleh anak didik. Hukuman dijatuhkan atas
perbuatan-perbuatan yang buruk yang telah dilakukannya dan ganjaran diberikan
atas perbuatan yang baik dilakukannya.
Disamping
itu, hukuman dan ganjaran juga memiliki perbedaan yang jelas. Didalam proses
pendidikan, akibat hukuman itu jauh lebih besar daripada akibat yang
ditimbulkan oleh ganjaran. Hukuman itu suatu perlakuan yang jauh lebih penting
daripada ganjaran.
Setiap orang
bebas memberi ganjaran kepada orang atau anak lain, tetapi tidak setiap orang
bebas menghukum orang atau anak lain. hak menghukum hanya diberikan kepada
orang-orang yang mempunyai fungsi yang khusus dan tertentu, seperti hakim,
oarang tua, atau guru. Lagi pula, hak yang ada pada orang-orang itu pun terikat
oleh peraturan-peraturan dan undang-undang.
Maksud orang
memberi hukuman itu bermacam-macam, hal ini sangat bertalian erat dengan
pendapat orang tentang teori-teori hukuman.
1)
Teori
Pembalasan
Teori inilah
yang tertua. Menurut teori ini, hukuman diadakan sebagai pembalasan dendam
terhadap pelanggaran yang telah dilakukan seseorang. Tentu saja teori ini tidak
boleh dipakai dalam pendidikan sekolah.
2)
Teori
perbaikan
Hukuman
diadakan untuk memperbaiki si pelanggar agar jangan melakukan kesalahan semacam
itu lagi. Teori inilah yang lebih bersifat paedagogis karena bermaksud
memperbaiki si pelanggar.
3)
Teori
perlindungan
Hukuman diadakan
untuk melindungi masyarakat dari perbuatan yang tidak wajar. Dengan adanya
hukuman ini, masyarakat dapat dilindungi dari kejahatan-kejahatan yang telah
dilakukan oleh si pelanggar.
4)
Teori ganti kerugian
Hukuman
diadakan untuk mengganti kerugian yang telah diderita akibat pelanggaran itu.
Dalam masyarakat dan pemerintahan banyak dilakukan hal semacam ini. Dalam
proses pendidikan, dengan hukuman semacam ini anak mungkin bisa menjadi tidak
merasa bersalah atau berdosa karena kesalahannya itu telah terbayar dengan
hukuman.
5)
Teori
menakut-nakuti
Hukuman
diadakan untuk menimbulkan perasaan takut kepada si pelanggar akan akibat
perbuatannya yang melanggar itu sehingga ia akan selalu takut melakukan
perbuatan itu dan mau meninggalkannya.
Teori ini
masih membutuhkan “teori perbaikan”. Sebab, dengan teori ini besar kemungkinan
anak meninggalkan suatu perbuatan karena rasa takut, bukan karena kesadaran
bahwa perbuatannya itu memang sesat[13].
Dari uraian
diatas dapat kita simpulkan bahwa tiap teori itu masih belum lengkap karena
masing-masing hany mencakup satu aspek saja. Tiap-tiap teori tadi saling
membutuhkan kelengkapan dari teori yang lain. Tujuan paedagogis dari hukuman
ialah untuk memperbaiki tabiat dan tingkah laku anak didik, untuk mendidik anak
kearah kebaikan.
g.
Alat Pendidikan Bersifat Materil
Alat pendidikan yang bersifat materil antara lain papan tulis, bulletin
board dan display, gambar dan ilustrasi fotografi, slide dan filmstrip, film,
rekaman pendidikan, radio pendidikan, televisi pendidikan, peta dan globe, buku
pelajaran, overhead projector dan tape recorder[14].
Disisi lain yang merupakan alat penting juga dalam pendidikan adalah laboratorium
bahasa, komputer dan lainnya yang terkait sarana dan prasarana seperti meja, kursi,
gedung dan fasilitas lainnya[15].
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan
ini dapat kami tarik kesimpulan bahwa batas dalam pendidikan adalah saat kapan
pendidikan dimulai dan diakhiri. Batas pendidikan Islam lebih
idealistik dan pragmatik, pendidikan itu berlangsung dari buaian sampai ke
liang lahat. Sebagaimana Hadis Nabi saw : أُطْلُبِ اْلعِلْمَ مِنَ اْلمَهْدِ
إِلَى اللَّهْـدِ yang artinya: “Tuntutlah ilmu pengetahuan semenjak dari buaian
hingga ke liang lahat”. (al-Hadis).
Sedangkan alat dalam pendidikan
adalah alat adalah langkah-langkah yang
diambil demi kelancaran proses pendidikan. Alat tak hanya yang berbentuk
nyata seperti papan tulis, buku pelajaran, laboratorium komputer saja. Namun,
dapat berupa Pembiasaan, pengawasan, Perintah, larangan, Ganjaran dan hukuman.
B. Saran
Kami menyadari
bahwa makalah ini tentunya masih banyak terdapat kekurangan, kekeliruan dan
kesalahan. Oleh karena itu kami harapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian
yang sifatnya membangun, demi menuju kesempurnaan makalah-makalah kami yang
akan datang. Atas kritik dan saran saudara kami ucapkan terimakasih.
KEPUSTAKAAN
Ahmadi, Abu dan Uhbiyati, Nur. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. 2001.
Barnadib, Sutari Imam. Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis. Yogyakarta: Andi Offset. 1993.
Danim, Sudarwan. Media Komunikasi Pendidikan. Jakarta:
bumi Aksara. 1994.
Hamalik, Oemar. Media Pendidikan. Bandung: Citra Aditya
Bakti. 1994
http://kiflipaputungan.wordpress.com/2010/04/28/batas-batas-pendidikan-islam/
http://konselingindonesia.com
Purwanto, Ngalim. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya.
1998.
[1] Sutari Imam Barnadib, Pengantar
Ilmu Pendidikan Sistematis (Yogyakarta: Andi Offset, 1993) hlm. 25
[2] Ibid, hlm. 25
[3]
http://kiflipaputungan.wordpress.com/2010/04/28/batas-batas-pendidikan-islam/
[4] Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati,
Ilmu Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2001) hlm. 140
[5] Ibid, hlm. 142
[6] http://konselingindonesia.com
[7] Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, op.
cit hlm. 144
[8] Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan
Teoritis dan Praktis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998) hlm. 177
[9] Ibid, hlm. 179
[10] Ibid, hlm. 181
[11] Ibid, hlm. 182
[12] Ibid, hlm. 183
[13] Ibid, hlm. 188
[14] Sudarwan Danim, Media Komunikasi
Pendidikan (Jakarta: bumi Aksara, 1994) hlm. 22
[15] Oemar Hamalik, Media Pendidikan
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994) hlm. 46
Komentar